Sunday, December 14, 2008

Misteri di Balik Sejarah Tahun Jawa


MENURUT Babad Jawa, sejak masa purbakala masyarakat di pulau Jawa sudah memiliki kebudayaan asli yang memperhitungkan ilmu perbintangan. Ilmu pengetahuan ini digunakan masyarakat pada jaman tersebut misalnya untuk bertani dan bercocok tanam serta untuk keperluan pelayaran. Ilmu ini dituangkan dalam Primbon Jawa yang termasuk di dalamnya yaitu Pawukon, Pranatamangsa, dan sebagainya.

Sekitar abad pertama masehi, masyarakat Jawa kedatangan pengaruh bangsa Hindu (India). Bersama dengan kebudayaan asli yang sudah ada, pengaruh kebudayaan Hindu ini menelurkan kebudayaan-kebudayaan baru.

Tahun Saka
Sejak abad ke-8 masehi, di Jawa sudah ada Kerajaan Hindu-Jawa yang menggunakan perhitungan waktu berdasarkan sistem kebudayaan asli, kebudayaan Hindu, dan kebudayaan baru. Perhitungan waktu pada masa itu telah menggunakan sistem angka tahun menurut Saka, terpengaruh kebudayaan Hindu.

Tahun Saka dihitung menurut perputaran matahari. Jumlah hari dalam sebulan pada tahun Saka berjumlah 30, 31, dan 32 atau 33 hari pada bulan terakhir, yaitu bulan Saddha. Sehingga setahun berjumlah 365 dan 366 hari, terbagi dalam 12 bulan.

Tahun Hijriah
Pengaruh kebudayaan Hindu yang sangat kuat di tanah Jawa akhirnya mendapat saingan dengan datangnya kebudayaan Islam. Pengaruh Islam semakin kuat sampai akhirnya pada abad ke-16 masehi Kerajaan Jawa mulai menggunakan sistem penanggalan Arab yang disebut Tahun Hijriah. Sistem penanggalan ini secara resmi digunakan oleh kerajaan Jawa Islam, tetapi sebagian masyarakat masih tetap menggunakan perhitungan Saka.

Tahun Hijriah adalah termasuk tahun Komariah, yaitu mengikuti perputaran bulan. Dalam satu tahun Hijriah berarti bulan mengitari bumi sebanyak 12 kali. Jumlah hari dalam sebulan pada tahun Hijriah berjumlah 29 dan 30 hari. Sehingga satu tahun Hijriah berjumlah 354 atau 355 hari (bulan Zulhijjah berumur 29 atau 30 hari).

Tahun Hijriah perlu diberlakukan di Jawa pada masa itu karena kerajaan-kerajaan Islam harus menyamakan kalender kerajaan dengan peringatan-peringatan penting dalam agama Islam. Pada masa itu, hari-hari besar Islam diperingati sebagai acara resmi kerajaan, misalnya Idul Fitri setiap tanggal 1 Syawal, Idul Adha setiap tanggal 10 Zulhijjah, dan Mauludan setiap 12 Rabi'ul Awal yang sampai saat ini selalu diperingati secara besar-besaran dalam acara Sekaten.

Tahun Jawa
Berdirinya kerajaan Mataram Islam memberi warna baru dalam sejarah penanggalan di Jawa. Tepatnya ketika pemerintahan Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma, ditetapkanlah pemberlakuan Tahun Jawa. Adapun sistem penanggalan Tahun Jawa adalah mengikuti penanggalan Hijriah, yaitu berdasarkan perputaran bulan, atau disebut Komariah.

Sistem penanggalan ini disepakati berlaku di seluruh wilayah Mataram, yaitu pulau Madura dan seluruh Jawa (kecuali Banten yang bukan kekuasaan Mataram). Hari itu Jum'at Legi tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah bertepatan dengan tahun Saka 1555, dan tahun 1633 Masehi, ditetapkan sebagai awal Tahun Jawa 1555 (melestarikan peninggalan penanggalan Saka).

Ada tiga hal penting dalam pemberlakuan Tahun Jawa :
1) Mempertahankan kebudayaan asli Jawa dengan mewadahi Pawukon dan sebangsanya yang diperlukan dalam memperingati hari kelahiran orang Jawa, mengerti watak dasar manusia dan prediksi peruntungan menurut Primbon Jawa.

2) Melestarikan kebudayaan Hindu yang kaya akan kesusasteraan, kesenian, arsitektur candi dan agama. Hal ini sangat penting karena kebudayaan Hindu telah berhasil menghiasi dan memperindah budaya Jawa selama berabad-abad sebelumnya.

3) Menyelaraskan kebudayaan Jawa dengan kebudayaan Arab. Sistem penanggalan Tahun Jawa yang serupa dengan penanggalan Hijriah yaitu Komariah, akan memudahkan masyarakat Islam di Jawa untuk menjalankan ibadahnya berkaitan dengan hari-hari suci/besar Islam.

Dengan begitu, penanggalan Tahun Jawa mampu mengakomodasi tiga golongan utama masyarakat Jawa ketika itu, yaitu golongan orang Jawa kuno (asli), golongan masyarakat Hindu, dan golongan umat Islam. (Primbon Aji Saka dan dari sumber lain)

Aksara Jawa, Cikal-Bakal Sejarah Jawa

Aksara Jawa, merupakan salah satu peninggalan budaya yang tak ternilai harganya. Bentuk aksara dan seni pembuatannya pun menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Tak hanya di Jawa, aksara Jawa ini rupanya juga digunakan di daerah Sunda dan Bali, walau memang ada sedikit perbedaan dalam penulisannya. Namun sebenarnya aksara yang digunakan sama saja.

Di bangku Sekolah Dasar, siswa-siswi di Jogja pasti tak asing dengan pelajaran menulis aksara Jawa. Namun tahukah kita bahwa Aksara Jawa yang berjumlah 20 yang terdiri dari Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Ta Nga dinamakan Aksara Legena?

Ya, Aksara Legena merupakan aksara Jawa pokok yang jumlahnya 20 buah. Sebagai pendamping, setiap suku kata tersebut mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi untuk mengikuti suku kata mati atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang tertutup oleh wignyan, cecak dan layar. Tulisan Jawa bersifat Silabik atau merupakan suku kata. Sebagai tambahan, di dalam aksara Jawa juga dikenal huruf kapital yang dinamakan Aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis nama gelar, nama diri, nama geografi, dan nama lembaga.

Aksara Jawa ternyata juga mengalami peralihan. Ada Aksara Jawa Kuno dan Aksara Jawa baru. Namun sulit untuk mengetahui secara pasti kapan masa lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara Jawa kuno dan aksara Jawa baru. "Sangat sulit menemukan kapan lahir ataupun peralihannya. Dikarenakan juga masih sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini," jelas Dra. Sri Ratna Sakti Mulya, M. Hum, Dosen Sastra Jawa UGM. Diprediksi Aksara Jawa Kuno ada pada jaman Mataram Kuno. Aksara Jawa Kuno juga mirip dengan Aksara Kawi. "Jika mau diurut-urutkan, sejarah Aksara Jawa ini berasal dari cerita Aji Saka dan Dewata Cengkar," tambahnya.

Dari penulisannya pada jaman dahulu pun, ternyata Aksara Jawa dapat dibedakan menjadi 2, yaitu aksara yang ditulis oleh orang-orang Kraton dan aksara yang ditulis oleh masyarakat biasa - lebih dikenal dengan sebutan Aksara Pesisir. Aksara Kraton mempunyai bentuk yang jauh lebih rapi. Aksara-aksaranya ditulis dengan jelas dan rapi, serta naskah sering dihiasi dengan gambar ornamen-ornamen yang mempunyai arti tersembunyi. "Setiap gambar yang menghiasi halaman naskah, mempunyai arti dan maknanya masing-masing. Kadang juga dihiasi dengan tinta emas asli. Dan ini semuanya adalah tulisan tangan," jelas Bapak Rimawan, Abdi Dalem yang membantu mengelola Perpustakaan Pakualaman. Sedangkan aksara Pesisir, penulisannya kurang rapi.

Sebagai salah satu cara pelestarian, banyak koleksi naskah aksara Jawa sejak jaman dahulu tersimpan rapi di Perpustakaan Pakualaman dan Perpustakaan Kraton. Perpustakaan Pakualaman menyimpan sekitar 251 naskah kuno yang dikumpulkan mulai sejak masa Pakualam I hingga Pakualam VII. (opi)